Kamis, 31 Januari 2013

Rumah, Energi-ne Wong Jawa


Suara Merdeka, 25 Juni 2012 | 12:40 wib
Filosofi Rumah Joglo
 
"Sejauh apapun seseorang pergi, ia akan selalu ingin kembali ke rumah."




 

INGATAN
wong Jawa tentang rumah memberi energi dan tafsir multidimensi akan asal kehidupan. Sebagaimana pakaian, rumah Jawa (joglo) hadir dengan model akulturasi dari berbagai peradaban agung, ketika Jawa menjadi simpul transportasi dagang dan kuasa.
Silang budaya dalam historiografi Jawa ternyata menyumbangkan struktur dan imajinasi manusia Jawa akan rumah sebagai hunian. Sebagaimana yang dituliskan Denys Lombard dalam 'Nusa Jawa Silang Budaya, Jaringan Asia', "Jawa persimpangan kuasa, yang berhubungan dengan Gujarat maupun Indochina. Salah satu fakta terpenting dari periode itu adalah munculnya Jawa sebagai kekuatan laut yang besar. Sampai saat itu, 'She po' dari sumber-sumber di China masih mengacu pada Pulau Jawa. Marcopolo menamai Jawa sebagai 'Java Major', Ibnu Batutta menamakan Muljawa (Jawa yang asasi)".
Sayangnya, rumah manusia Jawa saat ini kian hilang fungsi. Bertahan sebagai cagar budaya tiap kota untuk simbol pariwisata, tetapi dangkal secara substansi. Mengutip esai Munawir Aziz, manusia Jawa kehilangan rumah dalam fungsi fisik dan substansial: wong Jawa ilang omahe. Bagaimana nasib rumah Jawa sebagai identitas kultural? Bagaimana efek kehidupan manusia Jawa setelah rumah dihadirkan sebagai onggokan material yang kehilangan fungsi?
Rumah joglo diciptakan dengan sarat makna filosofis dan energi kehidupan bagi penghuninya. Rumah yang diciptakan wong Jawa ini mempunyai susunan yang dibagi menjadi tiga bagian, yakni pendopo, pringgitan, dan dalem. Setiap ruangan memiliki perbedaan nilai.

1. Pendopo

Ruang yang terletak di depan ini tidak mempunyai dinding atau terbuka, hal ini berkaitan dengan filosofi orang Jawa yang selalu bersikap ramah, terbuka dan tidak memilih dalam hal menerima tamu. Pada umumnya pendopo juga tidak di beri meja ataupun kursi, hanya diberi tikar apabila ada tamu yang datang. Hal ini dimaksudkan agar tercipta kesetaraan dan keakraban antara tamu dan pemilik rumah. Sebagaimana ungkapan Jawa, "rukun agawe santosa".
2. Pringgitan
Pringgitan adalah ruang antara pendhapa dan dalem. Biasanya ruangan ini dimanfaatkan sebagai tempat untuk pertunjukan wayang (ringgit) atau pertunjukan yang berhubungan dengan upacara ruwatan untuk anak sukerta. Ruangan ini memiliki makna konseptual, yaitu tempat untuk memperlihatkan diri sebagai simbolisasi dari pemilik rumah bahwa dirinya hanya merupakan bayang-bayang atau wayang dari Dewi Sri (dewi padi) yang merupakan sumber segala kehidupan, kesuburan, dan kebahagiaan
3. Dalem (Ruang Utama)
Dalem atau ruang utama dari rumah joglo merupakan ruang pribadi pemilik rumah. Di dalam ruangan dalem ini memiliki beberapa bagian, yaitu ruang keluarga dan beberapa kamar atau yang disebut senthong. Dahulu, kamar atau senthong hanya dibuat tiga kamar saja. Kamar pertama untuk tidur atau istirahat laki-laki, kamar kedua kosong namun tetap diisi tempat tidur atau amben lengkap dengan perlengkapan tidur, dan yang ketiga diperuntukkan tempat tidur atau istirahat kaum perempuan.
Sentong yang berada di tengah memiliki fungsi paling privat, ruang ini biasa disebut dengan krobongan yaitu tempat untuk menyimpan pusaka dan tempat pemujaan terhadap Dewi Sri. Di dalam krobongan biasa disimpan harta pusaka yang bermakna gaib. Raung ini juga digunakan untuk menyimpan padi hasil panen pertama, karena Dewi Sri dianggap sebagai pemilik dan nyonya rumah yang sebenarnya.
Di dalam krobongan terdapat ranjang, kasur, bantal, dan guling, adalah kamar malam pertama bagi para pengantin baru, hal ini dimaknai sebagai peristiwa kosmis penyatuan Dewa Kamajaya dengan Dewi Kama Ratih yakni dewa-dewi cinta asmara perkawinan.
(Diantika PW/CN27)