Oleh: Suwardi Endraswara
KAKEK saya yang menjadi guru mistik kejawen, pernah berpesan:
"Yen urip tetanggan, pagerana piring, aja kok pageri pring."
Maksudnya, hidup bertetangga seharusnya penuh kasih sayang dengan
memberikan sesuatu. Makanan apa saja, yang diberikan itu sebuah
pantulan rasa kasih sayang terhadap sesama. Kalau begitu, pesan kakek
itu mirip sekali dengan pengajian Mama Dedeh: rumahmu jangan kau pagari
tembok, tapi pagari mangkuk. Kata piring dan mangkuk, identik dengan
makanan.
Dari ungkapan itu, saya menjadi ingat ketika pertengahan Januari
2012 lalu diminta bicara di Junggringan (sarasehan) kelompok Ki Ageng
Suryamentaram di Jl Barito IV Jakarta. Waktu itu, putera Ki Ageng, Ki
Grangsang Suryamentaram, sempat menyampaikan bahwa orang yang
benar-benar mendapat kawruh begja sawetah (beruntung sejajti), adalah
yang tahu kalau dirinya memiliki kasih sayang pada sesama atau tidak.
Menurut dia, senyum itu kasih sayang yang mahal harganya, dibanding
harta berjuta-juta. Ketika senyum itu tulus, tidak pura-pura (lamis),
itu kasih sayang yang jauh melebihi mutiara dibanding memberi uang,
ternyata hasil korupsi.
Kasih sayang Jawa, sudah ditanamkan sejak sebelum orang lahir.
Tradisi sesaji (mitoni) misalnya, adalah potret kasih sayang prenatal.
Terlebih lagi, ketika seorang suami mengelus perut isteri yang sedang
mengandung, dengan kelembutan dan rona hati, akan menanamkan kasih
sayang luar biasa. Begitu pula, ketika seorang ibu melagukan
"tak lela-lela lela ledhung",
sambil menyusui dan menimang-nimang anaknya, adalah bentuk kasih
sayang orang tua yang tiada tara. Kata orang, kasih sayang orang tua
itu sak rendheng, artinya sangat besar, sebaliknya kasih sayang anak
kepada orang tua hanya sak klentheng, artinya amat kecil. Maka, kalau
anaknya sedang sakit, ibu mengompres dengan daun dadap sreb. Waktu
anaknya rewel, dibelikan sesuatu, ketika pegal dipijat, dan seterusnya.
Tanpa Pamrih Kasih sayang di mata orang Jawa, tidak seperti orang asing.
Jika orang asing kasih sayang mereka wujudkan dengan cara
membagi-bagi bunga, orang Jawa cenderung membagi-bagi makanan. Konsep
memberi (weweh), menjadi hal penting dalam kasih sayang. Namun, yang
diagungkan orang Jawa adalah memberi yang tanpa pamrih. Jika masih ada
pamrih, itu bukan kasih sayang, melainkan kasih sayang terselubung.
Seorang raja, pada tempo dulu, mewujudkan kasih sayang dengan
memberikan triman dan kekucah kepada bawahan. Triman, biasanya wujud
wanita yang boleh dipersunting bawahan, dengan tujuan ngalap berkah.
Kekucah, adalah pemberian harta benda. Sebaliknya, wujud kasih sayang
bawahan dengan memberikan asok glondhong miwah pengarem-arem (upeti).
Orang Jawa, membangun mitos kasih sayang sudah begitu panjang. Mereka rangkai secara simbolik ke dalam patung loro blonyo.
Dua patung yang sering diletakkan pada perhelatan pengantin
merupakan wujud kasih sayang suami isteri. Loro blonyo juga sering
diletakkan pada pasren, di senthong tengah, yang menyerupai patung Sri
dan Sadono, dewa kesuburan. Rangkaian kasih sayang, juga diuntai ke
dalam ungkapan pidato ular-ular manten, seperti Kamajaya-Kamaratih.
Manten demikian dipandang memiliki kasih sayang lahir batin, yang kelak
dapat hidup seperti mimi dan mintuna. Itulah sebabnya konteks
sarimbit, artinya kedua mempelai bergandengan tangan, merupakan potret
kasih sayang hakiki . Terlebih lagi,keduanya akan dilegalkan dalam
menjalankan pepasihan, artinya hubungan salaki-rabi (suami-isteri),
hingga menjadi sih-sihan, pertanda turunnya kasih sayang.
Rasa kasih sayang itu muncul dari hati yang terdalam, tanpa paksaan.
Kasih sayang tidak harus menunggu orang itu memiliki sisa rezeki.
Kasih sayang yang muncul karena rasa belas kasihan (mesakake), juga
tidak tulus. Kasih sayang Jawa yang luhur, harus lahir dari suksma
sekti, artinya batin terdalam. Suksma sekti itu yang menuntun diri
pribadi, agar tahu yang dirasakan orang lain.
Tahu rasa orang lain, tanpa didorong oleh rasa iri (ambeg meri),
menjadi sinar hadirnya kasih sayang. Kalau hal ini dapat dibina
terus-menerus, di tengah hidup Jawa akan hujan kasih sayang (jawahing
tresna asih). Pada saat itu, seseorang akan sadar kosmis melakukan
kasih sayang. Jika kasih sayang anak pada orang tua, sekedar balas
budi, belum dapat disebut luhur. Kalau orang melakukan
sumbang-menyumbang dalam hajatan, karena pernah disumbang, hal itu juga
kasih sayang semu.
Jadi kasih sayang sejati itu, seperti ketika Resi Seta memberikan
wejangan ilmu batin pada Gatutkaca dan pada waktu Bima menyanjung pada
anaknya Gatutkaca, dengan cara khas, dicubit, dipukul, digembleng, agar
menjadi satria yang otot kawat balung besi. Begitu pula pada waktu Ki
Buyut Banyu Biru memberi wejangan ilmu kepada Jaka Tingkir, jelas
gambaran kasih sayang. Kasih sayang Jawa mencapai puncaknya ketika
ziarah kubur dengan sesaji bunga telasih, artinya telasing sih, artinya
habisnya kasih sayang secara lahiriah.. (Suara Merdeka 01 April 2012 | 21:10 wib)