Suara Merdeka 05 April 2013
- Oleh Tri Marhaeni P Astuti
SIAPA tidak
kenal Grobogan, kabupaten terbesar di Jawa Tengah dengan berbagai image dan
stereotipe? Ada ungkapan menarik, “Purwodadi kuthane, sing dadi nyatane”, yang
menurut saya menjadi semacam “tagline” pemicu semangat untuk terus berkarya dan
menunjukkan eksistensi sebagai orang Grobogan.
Menyebut
Purwodadi, Grobogan, kita akan segera terhubung dengan kuliner yang paling
menghegemoni, yakni masakan swike. Image yang selalu terbangun, swike itu
kodok, seolah-olah orang Grobogan suka makan katak. Padahal swike adalah jenis
masakan, yang isinya bisa ayam bisa pula kodok. Alangkah lebih baik apabila
romansa masakan ini bisa mengopini bahwa swike ayam Grobogan juga merupakan
identitas setenar swike kodok.
Kecap
Purwodadi juga punya tempat tersendiri di hati masyarakat, selalu menjadi
oleh-oleh khas. Sayang, untuk mendapatkannya, kita harus bertanya dulu dari
satu orang ke orang lain. Sering saya ditanya, “Di mana to tempat membelinya?”
Luas wilayah
Grobogan juga memberi berkah dengan berbagai potensi dan representasi
identitas. Dari bagian barat, Gubug dan Godong terkenal dengan keripik renyah
dan khas yang tidak ditemukan di tempat lain. Keripik yang masih berbentuk
kedelai (seperti tempe belum jadi) yang diiris tipis sangat renyah dan gurih.
Namun untuk menemukannya juga hanya orang-orang tertentu saja yang bisa, hanya
dari mulut ke mulut. Lalu bagaimana caranya agar keripik Gubug ini bisa didapat
dengan mudah, “di depan mata”?
Ikon kuliner
lain adalah getuk bersemi. Ini sebenarnya bisa menjadi potensi identitas yang
luar biasa. Getuk merupakan makanan rakyat dengan romantisme masa lalu dan
“kebermaknaan untuk kesehatan” pada masa kini.
Masih banyak
lagi kuliner Grobogan yang membawa romansa penghegemoni masyarakat. Misalnya
sega pecel Gambringan, sega jagung, bothok yuyu, gudangan, dan ungker lombok
ijo. Yang saya sebut itu hanya sebagian kecil, karena masih banyak lagi
jenis kuliner yang romantik dan terkenal.
Situs
Sejarah
Selain
wisata kuliner juga banyak situs bersejarah yang menjadi identitas Grobogan.
Sudah pernah saya tulis dalam artikel terdahulu, terdapat tempat-tempat
bersejarah dan objek wisata religi, seperti situs Ki Ageng Selo, Api Abadi
Mrapen, dan Bledhug Kuwu. Juga tempat-tempat wisata religi dengan berbagai
sendangnya.
Last but not
least, Grobogan punya potensi wisata budaya yang sangat terkenal: tayub. Betapa
indah jika kesenian yang tiap tahun difestivalkan ini betul-betul dikemas dalam
satu paket wisata reguler, sehingga orang selalu menanti. Bukankah kita
mengenal Festival Kesenian Jember, Solo Batik Carnival, Apem Yaqowiyu di
Klaten, yang tiap tahun selalu ditunggu masyarakat?
Sentra
Produk
Di wilayah
industri-kebudayaan, Grobogan sudah mulai mengembangkan batik khas. Sebagai
penyuka batik yang “tiada hari tanpa berbatik”, saya sangat bangga ketika
daerah kelahiran saya itu mengembangkan batik khas. Hanya, di mana harus
mendapatkan, akses informasinya masih sangat terbatas.
Sangatlah
penting jika Grobogan mempunyai sentra produk asli yang mudah dijangkau,
gampang ditemukan, dengan bersinergi mengembangkan kekuatan promosi media
massa. Eksotisme sebagai wilayah di pegunungan kapur akan terwakili dari
sentra produk ini.
Tentu
dibutuhkan kerja keras, kreativitas, dan tak pernah bosan berinovasi agar
sentra produk asli Grobogan itu benar-benar menghegemoni masyarakat. Saya
mengimpikan suatu saat image Grobogan berubah dari “jalan yang selalu rusak”
menjadi Grobogan yang dikenal karena potensi-potensi, antara lain wisata
kuliner dan wisata budayanya.
Sebagai
catatan, kabupaten ini sudah meraih banyak penghargaan, di antaranya Parahita
Ekapraya empat kali berturut-turut. Penghargaan ketahanan pangan pun sudah
didapatkan. Ujung-ujungnya, keberagaman potensi itu menjadi tak bermakna
manakala orang luar kesulitan mengakses, antara lain karena keterbatasan
informasi dan banyak infrastruktur jalan yang rusak. (10)
— Tri Marhaeni Pudji Astuti, guru besar Antropologi Jurusan Sosiologi &
Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes