Selasa, 21 September 2010

KUPATAN

Malang Post ,Kamis, 16 September 2010 13:21
TAK terasa, sudah sepekan kita memasuki bulan Syawal atau sudah sepekan ini kita meninggalkan Ramadan. Pas sepekan usai Lebaran, biasanya ditandai dengan hari raya kedua atau yang popular disebut Kupatan. Ini adalah tradisi makan-makan dengan kupat, nasi yang dibungkus daun kelapa yang dianyam berbentuk segi empat – mirip lontong – yang disertai dengan lauk opor ayam dan sayur lodeh. Di desa atau kampung, tradisi kupatan ini masih kental yang ditandai dengan mengantar kupat dan lepet kepada para tetangga atau kerabat. Karena rumah saya di kampong, saya sering mendapat weweh atau ater-ater paket kupat, lepet, opor ayam dan sayur lodeh dari para tetangga.
Sungguh nikmat, nikmat kupatnya dan nikmat persaudaraan sesama tetangga. Inilah sisi lain dari Islam di Indonesia yang berkembang melalui asimilasi tradisi. Walisongo mengembangkan Islam di tanah Jawa melalui cara ini, bagaiaman ajaran agama bisa seiring dengan tradisi setempat. Tentu saja cara ini dilakukan melalui pemilahan yang cermat agar tidak menyampurkan antara akidah dengan tradisi. Tradisi yang bertentangan dengan akidah tentu saja tidak bisa dipakai. Bukan berarti tradisi tidak bisa bersanding dengan ajaran agama.
Dalam tradisi Kupatan misalnya, masyarakat kita sudah lama mengenal tradisi saling memberi, weweh atau ater-ater, baik itu makanan maupun dalam bentuk lain. Bukankah ini sejalan dengan ajaran Islam bahwa memberi itu lebih mulia ketimbang menerima, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Beragam cara dilakukan menyambut Kupatan, tapi yang terpenting sesungguhnya kita sudah sepekan berpisah dengan Ramadan.
Perpisahan itu seakan-akan menghapus semua aktivitas yang kita lakukan pada Ramadan lalu, bahkan aroma Ramadan sudah hilang sama sekali diganti dengan gemerlap pesta Idul Fitri. Perpisahan dengan Ramadan sungguh menyedihkan, karena tidak ada lagi atmosfer yang merangsang kita untuk giat beribadah. Salat lima waktu berjamaah, qiyamullail atau tarawih, tadarus Al Quran, sedekah atau kebajikan yang lain sepertinya begitu mudah kita lupakan. Tolok ukur keberhasilan ibadah puasa kita sebenarnya bukan pada apa yang kita lakukan pada Ramadan lalu, tapi pada 11 bulan setelahnya.
Kalau pada saat Ramadan dengan mudah kita puasa, karena banyak yang melakukan hal yang sama. Enteng saja kaki kita pergi ke masjid untuk salat berjamaah, tarawih atau qiyamullail di sepertiga malam yang dingin. Mudah sekali lisan kita membaca firman Allah, bahkan sampai khatam 30 juz dalam sebulan. Tangan kita begitu ringan merogoh kocek untuk kita bagikan kepada fakir miskin, anak yatim atau siapa saja yang membutuhkan. Semuanya dengan mudah kita lakukan karena suasana Ramadan yang sangat mendukung, ketika setan dibelunggu, libur sebulan menggoda manusia. Ketika memasuki 1 Syawal, semuanya jadi berubah, dari rajin menjadi malas, dari loman menjadi pelit.
Mungkin momen Kupatan ini bisa menjadi pengingat bagi kita untuk kembali kepada ‘’suasana’’ Ramadan. Ibadah yang kita lakukan selama sebulan penuh itu kita lakukan lagi di 11 bulan berikutnya. Sudah menjadi rahasia umum, setelah 1 Syawal jamaah di masjid semakin maju, jumlah jamaahnya semakin sedikit. (Alhamdulillah jumlah jamaah salat zuhur di musala kantor saya sama dengan saat Ramadan). Ayo, kita kembali ke masjid untuk berjamaah. Puasa yang kita lakukan selama sebulan – yang katanya memberi manfaat besar untuk jasmani dan ruhani – mari kita lanjutkan di luar Ramadan melalui puasa sunnah.
Misalnya puasa sunnah rutin, puasa enam hari bulan Syawal, tiga hari pada pertengahan bulan, Senin – Kamis, puasa Nabi Dawud atau puasa pada hari-hari tertentu, Asyura, menjelang Idul Adha, bulan Syakban atau kesempatan yang lain. Tarawih atau qiyamullail yang rajin kita lakukan selama Ramadan, bisa dilanjutkan di sepertiga malam di luar Ramadan di rumah kita sendiri. Pascaramadan, ketika manusia cenderung semakin pelit, ada baiknya kita ingat lagi apa yang sudah kita lakukan selama Ramadan, ketika dengan mudah kita merogoh kocek untuk sedekah. Ayo, kita rogoh lagi dompet kita setiap kali kita ke masjid untuk dimasukkan ke kotak amal.
Kalau selama Ramadan kita sangat humanis, begitu peduli kepada sesama, seharusnya sikap itu kita jaga sesudahnya. Meminjam istilah Ustad Usman Syahadat soal Smart Ramadan di Radar Malang menyambut Idul Fitri lalu, kalau kita merasakan nikmatnya ibadah selama Ramadan, maka kenikmatan itu harus dijaga dan dilanjutkan di luar Ramadan. Inilah amalan yang paling disukai oleh Allah, yang dilakukan secara istiqamah, konsisten, terus menerus. Banyak yang mengatakan istiqmah itu sulit. Memang benar, tapi kesulitan itu muncul karena pengaruh hawa nafsu yang disponsori oleh setan. Bukankah hawa nafsu itu selalu kita kendalikan dengan sekuat tenaga selama Ramadan lalu ? Perang melawan hawa nafsu sesungguhnya terjadi di luar Ramadan. Setan akan selalu membawa kita kepada pecundang, tapi Allah memanggil kita untuk menjadi pemenang, muttaqin.

Tidak ada komentar: